Tuesday, October 12, 2010

Mengantarmu

Hujan masih setia. Rintiknya berkejaran dalam nada yang statis. Sesekali angin beringsut, meracau melodi bulir hujan yang terpental dari cekungan becek. Sudah hampir seminggu, setiap sore langit menangis dan terisak lebih lama. Entah apakah ini tanda perpisahan dengan musim kemarau yang kini tak jelas lagi reinkarnasinya.

Kadang aku hanya kasihan pada bibit tomat—yang mungkin—sudah jenuh air di potnya. Juga kepada tukang jual karpet di pinggir jalan yang harus berkemas lebih awal karena langit mulai gelap. Kadang aku mengira, ia memikul karpet itu dengan sedikit gerutu, belum juga ada yang—sekadar—menyambangi dagangannya, eh sudah harus gulung tikar.

Sama seperti si penjual karpet, aku masih mendongkol di sini. Di bawah atap sebuah rumah besar. Ya, ini rumah yang disulap menjadi kantor, dan tersembunyi dari belantara kemacetan Jakarta. Jarum hitam di jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Artinya hampir setengah jam aku menunggu di depan pintu itu, dan sudah setengah jam pula aku terlambat.

“Mau ke mana?” seorang kawan bertanya. “Ada janji dengan kawan,” jawabku sekenanya. Mataku masih mengawasi rintik hujan, menimbang-nimbang apakah aku dapat menerobosnya dengan pantas. Belum. Masih deras. Saraf-sarafku belum siap.

***

“Woi,” refleks tanganku terangkat, “di sebelah sini.” Seketika itu juga tiga kepala berpaling ke arahku. Semua tersenyum. Begitu hangat. “Maaf lahir batin, ya,” seorang membuka perjumpaan itu, dan aku spontan menjabat tangannya dan kedua kawan lainnya sambil mengulang kalimat yang sama—tulus dari hati.

“Emangnya gak pulang kampung?” tanya seorang kawan. Aku hanya tersenyum diikuti gelengan kepala yang terasa ter-setting otomatis. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang kerap semakin tinggi frekuensinya menjelang liburan Idul Fitri, dan sedikit menurun frekuensinya—tetapi pasti tetap akan menjadi pembuka pembicaraan—pascalebaran.

Sebenarnya pertanyaan itu sudah aku jawab dua tahun silam. Pada tahun aku bisa menikmati lebaran di tengah keluarga yang lama kutinggalkan. Sampai pada momen itu, gelar Bang Toyib sementara tanggal dari pundakku. Memang sangat beralasan kawan-kawan di Bogor menganugerahkan gelar itu, bahkan aku sudah melampau rekor Bang Toyib—bukan cuma tiga kali lebaran, tapi enam kali lebaran tak pulang-pulang.

“Dari jam dua lewat di sini,” seorang kawan sedikit sarkas. “Maaf, maaf, hujannya gak kompromi. Padahal nih dah bela-belain bolos,” jawabku, karena aku tahu aku memang telat parah. “Terus, kita mau naik kereta apa?” tanya kawanku, Tiwi, yang belakangan aku sadar dia tak pernah absen dari semua acara kumpul-kumpul kelas kami.

Belum sedetik pertanyaan Tiwi menguap di udara sore yang dingin itu, tiga pertanyaan—dari seorang kawan lainnya—bertubi-tubi menghujam penjaga loket kereta api. Begitu cepat. Sedikit dramatik. Tawaku hampir pecah.

Bagaimana tidak, pertanyaan itu diiringi gestur khas orang Hindustan. Di bagian ini, aku agak sulit untuk mendeskripsikannya. Aku hanya ingin menegaskan, mungkin ini sudah mendarah daging di diri Sarah—kawanku itu, karena memang dia begitu tergila-gila dengan India. Untung si penjaga loket tiket sudah terlatih dan lebih memilih merespon pertanyaan terakhir, “Ekonomi-AC jam setengah empat.”

“Ya, kita naik itu saja,” kata Sarah merespon balik. Tanpa dikomando masing-masing merogoh dompet, mengeluarkan uang sebesar Rp5.500 sebagai tiket perjalanan menempuh enam stasiun kereta menuju Bogor. “Oh iya, si Lily di mana?” tanyaku. “Dia lagi menuju ke sini,” jawab Sarah sambil mengeluarkan ongkos tiket kereta untuk Lily.

Tak lama setelah mengantongi lima tiket, sesosok perempuan berperawakan sedang, berjilbab hitam, dan berbusana oranye berlari kecil menuju arah kami. “Itu Lily,” kata salah satu kawanku. Lily, itu nama panggilannya. Kadang kami memanggilnya Lailai. Di dunia baru bernama UI, Lily dan aku adalah kawan lama yang hijrah ke Depok, dan melanjutkan kuliah di kampus dan (lagi-lagi) di kelas yang sama.

Dia contoh anak perantau yang pantang menyerah. Dia cerdas dan tangkas berargumen. Soal menulis, dia jagonya. Maklum dia pernah melakoni profesi sebagai wartawan selepas berkuliah di Bogor. Namun, akhir-akhir ini seperti ada dinding tak kasat mata antara kita, dan aku belum berani menyatakan ini padanya.

Tiga hari selepas lebaran, stasiun kereta UI masih lengang. Padahal, pada jam-jam seperti itu, peron ini—sudah dipastikan—ramai, bahkan sedikit sesak. Tapi suara kami berlima sudah cukup untuk memecah kesenyapan itu. Seperti biasa, kami kembali larut dalam cerita-cerita konyol. Dari kehidupan di dunia nyata hingga soal kegilaan di dunia maya.

Masih di peron. Sekonyong-konyong kami begitu sigap. Icha, kawan yang belum aku sebutkan namanya, tiba-tiba mengeluarkan mainan barunya: kamera DSLR. Pada detik itu, aku rasa Sarah sudah dengan gaya manisnya. Tiwi pun dengan senyumnya yang pol. Tak perlu ditanya lagi, Lily pasti sudah dengan pose maksimal. Sedangkan aku, kadang-kadang masih gamang dengan cara menampilkan diri di depan kamera. Ah, berle(bihan) a.k.a lebay. Sarah pasti berkomentar tajam kalau baca bagian ini.

“Waktu itu di kelas apa gitu,” Lily mencoba mengingat. “Bambang…Bambang Sotoy,” kata Tiwi menirukan celetukan spontan salah satu teman kelas yang menganugerahkan nama tersebut kepada seorang kawan yang—entah ia ada atau tidak, di dunia nyata ataupun maya—selalu jadi bahan celaan. Tawa pun pecah.

“Katanya si Bambang lebaran ini gak mudik. Tapi bakal pulang mau nyekar ke kampung halaman,” aku angkat cerita, “itu sama saja mudik, kan?” Ha ha ha ha ha. Semua tertawa. Begitulah kegilaan Bambang yang sama-sama kami mengerti. “Dasar, Bamsot,” celetuk salah satu kawan. Aku takjub. Betapa si Bambang tak habis-habisnya mengocok perut kami.

***
Peron bisa saja sunyi, tapi tidak dengan gerbong kereta. Penumpang tetap saja sesak. Cuma kali ini masih manusiawi. Lebih menabjubkan lagi, di antara sesak itu, kami masih tenggelam dalam cerita-cerita yang mengundang tawa. Kali ini, Tiwi yang angkat cerita. Tidak jauh-jauh, masih seputar pekerjaan yang sudah hampir empat bulan ini dia jalani: class assistant, di sebuah sekolah internasional.

Di balik jilbabnya, aku masih merasakan sisi tomboy Tiwi. Ditambah dia jago bela diri. Celakanya, penggila drama dan aktor korea ini diberi tanggung jawab mengurus elementary class, tepatnya kelas satu. Bencana!

Beberapa kali aku mendengar cerita tentang siswa-siswanya yang unik bin ajaib itu—atau mungkin si Tiwi yang rada ajaib. Tapi kali ini dia cerita tentang beberapa guru yang dari kaca matanya juga ajaib. Kami kadang tertawa mendengarnya, tapi lebih sering berekspresi ngeri.

Samar-samar bayangan berkelebat di jendela kereta yang berkabut. Di luar hujan semakin lebat. Angin pun tak mau kalah. Derai hujan tak lagi turun vertikal. Angin meniupnya, lebih dingin. Merasuk ke sendi-sendi kengerian kita. Tapi bagiku, hujan ini menggores sore itu.

***

“Si Lailai mana?” aku bertanya. Mereka pun balik bertanya. Kami kehilangan Lily di keriuhan Stasiun Bogor. Bukan cuma riuh, tapi benar-benar berantakan. Tak ada alur yang jelas antara penumpang yang mau turun dan naik. Belum lagi rintik hujan masih betah bertumpahan. “Kita jalan saja. Nanti juga ketemu. Ini kan daerah jajahan Lailai,” ujarku pada yang lain sambil sesekali menyapu gelombang manusia, mencoba menangkap bayangan perempuan berbaju oranye dan berjilbab hitam.

Dua warna itu yang tadinya mengecoh kami berempat. Masing-masing kami mengira, perempuan—berjilbab hitam dengan busana oranye—yang berada sekitar tiga meter di depan kami itu si Lily. Setelah lebih dekat, kami pun salah besar.

Kami pun kembali dalam formasi lengkap. Berusaha keluar dari luapan manusia di stasiun yang semakin jarang aku sambangi. Tak banyak yang berubah. Paling mencolok hanya penambahan peron kereta. Selebihnya masih sama. Apalagi soal ketertiban. Mungkin makin kacau.

Di dalam angkot, kami masih ramai. Masih ada segudang obrolan yang ngelantur sana sini. Masih seputar Bambang, kadang-kadang menyerempet tentang kisah asmara ‘haji’ dan ‘hajjah’. Eh, sejurus kemudian suara si hajjah bergaung di telepon genggap milik Tiwi. Spontan aku berteriak, “Kami lagi ngomongin lu bu hajjah.” Selang berganti, si Bambang menyambangi HP Tiwi. Kontan Sarah berkomentar, “Ngapain si Bamsot telepon lu, Tiwi?!” Aku diam-diam tertawa. Jangan-jangan si Sarah mengharapkan telepon dari si Bambang Sotoy. Hmmm, hanya Tuhan yang tahu.

***

 Di sudut jalan, di bawah tenda penjual ayam goreng, kami berteduh. Sesekali, mata kami tertuju ke ayam goreng yang terdisplai. “Tampaknya enak,” seorang kawan berseloroh. Kami pun mengiyakan. Tak lama kemudian sebuah mobil hitam mendekat. Perlahan kacanya terbuka. “Oh, Mbak Liebe nyetir sendiri?” tanya Sarah. Tak lama mobil itu pun melaju menuju rumah si pengendara.

Rumah itu tetap hijau, sama seperti aku datang setahun yang lalu, bahkan lebih semarak. Tapi saat menginjak ruang tamunya, pemandangannya tidak seperti dulu. Tak ada lagi kursi ataupun meja. Hanya onggokan barang yang dikemas dalam kardus dan tas perjalanan. Namun, karikatur si empunya rumah bersama putri tersayang mereka masih menggantung di salah satu dinding ruang tamu. Gambar berpigura hitam itu masih selalu mengundang tawa.

Di ruang tengah seorang gadis kecil menyambut kami sambil tersipu malu. Sebentar menghampirinya, tanpa dikomando, kami langsung menuju kamar mandi bergantian. Masing-masing sadar dengan kondisi kaki yang becek. Di dapur tampak bibi—yang masakannya selalu dibanggakan empunya rumah—sedang sibuk beres-beres. “Apa kabar, Bi?” tanyaku sambil minta gelas untuk minum.

Si gadis kecil masih bermain di atas kasur di ruang tengah bersama ponakan ibunya. “Apa kabar Teta?” Sarah menyapanya. “Ini budak leutik apa kabarnya?” Lily ikut bertanya sambil menggodanya. Sambil tersenyum dia bergerak lincah menghindari teman-teman ibunya. “Maklum ya kalau berantakan, namanya juga mau pindahan,” kata Mbak Liebe.

Sore itu memang masih berlangsung kegiatan transfer barang dan pengosongan rumah.  
 “Iya, akhirnya dengan berat aku lepaskan juga,” kata Mbak Liebe, menjawab pertanyaan Lily tentang piano yang tak lagi ada di salah satu sudut ruang tengah. Televisi pun tak lagi ada di tempatnya. Bahkan kami sengaja mengajak Teta sibuk bermain agar ia tak menyadari bahwa saudara ibunya sedang mengangkut beberapa barang kesayangannya.

Hingga ketika bibi melewati ruang tengah sambil membawa sebuah keranjang bermain—yang lebih mirip tenda mini—tiba-tiba gadis cantik itu keluar dari kamar sambil berseru, “Tunggu, itu tenda aku!” Bibi hanya bisa mundur sambil memberikan keranjang tersebut. Mbak Liebe hanya bisa menggeleng kepala.

***
 
Setengah tujuh malam aku sampai di kelas. Hanya beberapa orang tampak di sana. Hari ini—seingatku—hari ketiga perkuliahan dimulai. Semua masih tampak asing: wajah-wajah temanku, ruang kelas, hingga celetukan-celetukan yang terdengar. Aku langsung duduk di kursi di deretan kedua dari depan. Tepat di depan seorang perempuan—yang setahuku saat itu—mungkin tak seumuran lagi dengan peserta kelas itu.

Entah dimulai dari topik apa, akhirnya aku terlibat perbincangan dengan kelompok kecil di belakangku yang datang sedari tadi, termasuk dengan perempuan itu. Kami saling memperkenalkan diri. Aku cukup terkesima setelah tahu kalau perempuan itu rumahnya di Bogor. Jauh juga untuk ukuran perjalanan sore dan malam. Dia naik kereta untuk sampai ke kampus. Dari cara dia berbicara, aku tahu dia orang yang cerdas, berprinsip, dan rendah hati.

Belakangan aku tahu ia berasal dari NTT. Namun, pernah menghabiskan masa kecilnya di Swiss. Tak heran dia menguasai beberapa bahasa asing. “Liee..be atau Liebe?” tanya seorang dosen saat memanggil nama perempuan itu. Memang namanya sedikit asing di lidah orang Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Selain itu, sedikit menyita perhatian, tenyata namanya tengahnya dihiasi beberapa hurup kapital sebagai singkatan nama tengahnya yang panjang. Namun, aku cukup memanggilnya Mbak Liebe.

Dia kawan yang baik. Dia contoh dan ‘cambuk’ bagiku. Mungkin dia tak pernah tahu kalau saat-saat semangatku kuliahku sedang surut, aku bercermin padanya. “Masa kalah sama ibu-ibu?!” Pernah suatu Sabtu aku menemaninya menunggu kereta di Stasiun UI. Kala itu tugas kuliah sedang banyak-banyaknya. Kami tahu, ihwal itu cukup membuat kami bisa ‘meledak’.

Lantas dia berbicara tentang filosofi kurma. Filosofi yang dia pegang selama ini, karena aku tahu ada saja kerikil yang dia hadapi selama menyelesaikan kuliah di UI. Begitu pun aku. “Walau hidup di tengah gurun yang kering, kurma tetap punya rasa yang manis,” tuturnya. Pasti ada buah manis yang kita petik dari sebuah kerja keras. Sejak itu pun, saat situasi sulit dalam kuliah, kami saling mengingatkan dengan filosofi kurma.

Bahkan, pada semester-semester berikutnya, aku sering satu kelompok dengannya. Mungkin karena kecocokan pola kerja, dan memang se-visi dalam mengerjakan tugas kuliah. Hingga seorang dosen berseloroh, “Di mana ada Liebe, pasti ada Topan. Di mana ada Topan, pasti ada Liebe.” Aku hanya bisa tertawa.

Masih teringat malam-malam saat kami bertelepon berbagi kabar tentang sejauh mana perkembangan pengerjaan skripsi masing-masing. Apalagi kami memiliki pembimbing akademis dan pembimbing skripsi yang sama. Kadang ada kepasrahan dalam pembicaraan kami. Namun ada mimpi-mimpi yang ingin kami capai. Hingga pada suatu malam, saat berbincang di telepon, aku menyatakan kemungkinan aku tak bisa merampungkan skripsi semester tersebut.

Aku mendengar ada nada yang berubah pada suaranya di seberang sana. Aku tahu, agak berat menyatakan ini—atau juga mendengarnya, mengingat kami sama-sama melangkah membangun skripsi ini dengan kesungguhan, sama-sama melewati sidang proposal di waktu dan ruangan yang sama, tetapi harus berakhir dengan jalan masing-masing.

Beberapa hari kemudian aku baru tahu kalau saat itu dia sedih—mungkin hampir menangis. Aku pun bercerita padanya, kalau aku kemarin malam bermimpi ketika aku menyampaikan kabar sedih itu, dia langsung memalingkan wajahnya, dan aku tahu, air mata mengalir di pipinya saat itu. Sedih...

**

Hari ini di antara gerimis yang tak berhenti, kami berlima sengaja datang menemuinya. Empat hari lagi Mbak Liebe akan berangkat bersama suami dan putri mereka yang cantik dan tinggal di negerinya Shahrukh Khan—entah untuk berapa lama.

Di depan Stasiun Bogor, kami mengakhiri kebersamaan yang begitu ‘hangat’. Kami memeluknya satu persatu. Begitu erat. Begitu cepat, sebelum angkot—di belakang mobilnya yang sedang berhenti di padatnya jalanan di depan stasiun—membunyikan klaksonnya.


Tererert...handphone-ku berbunyi. Sebuah replayed SMS dari Mbak Liebe masuk,“... Aku paling sebel perpisahan, makanya ga mau lama2, takut sedih ....” 



(Suatu sore di hari ketiga belas di bulan September yang tidak ceria.)

Thursday, September 16, 2010

Cinta dari Tepian

Kepedulian. Kepedulian. Kepedulian. Sain hanya punya modal itu untuk merawat Situ Pedongkelan


Tengah hari. Saat matahari belum beranjak dari ubun-ubun. Di tepi situ seorang lelaki baya berjibaku dengan rerumputan yang meninggi. “Sudah masuk musim hujan, rumputnya lebih cepat tumbuh,” imbuhnya. Di belakangnya, sampah-sampah terombang di antara riak-riak kecil permukaan situ. “Mulai lagi nih sampahnya. Biasa, dari kali yang melewati perumahan di atas.” 

Begitulah Sain N. Iskandar membunuh waktu luangnya. Bersama sebuah rakit bambu yang ditempeli mesin berkekuatan 150 horse power, Sain rutin mengangkut sampah yang mulai menumpuk ke badan air. “Ini belum ada apa-apanya,” sambil menunjuk ke arah sampah plastik yang mengapung, “kalau dibandingkan dengan wajah Situ Pedongkelan empat tahun lalu.” 

Sain dan rakitnya. Merawat Situ Pedongkelan dengan cinta dan aksi nyata.
Bagi Sain, Situ Pedongkelan punya peran penting bagi ekosistem di sekitarnya. Banyak manfaat yang disediakan, dari fungsi ekologis, ekonomi, pendidikan, hingga wisata. “Coba kalau situ ini bersih, kita bisa bikin lomba perahu naga di sini.” Di Jakarta Selatan sendiri ada sekitar 20 situ yang menjadi sumber resapan air. Namun, perubahan peruntukan lahan banyak mengorbankan lahan-lahan basah itu. Pertumbuhan pemukiman semakin memarjinalkan luasan areal konservasi tersebut. Alhasil, banjir kerap menyambangi ibu kota.

“Kalau ada situ seperti ini bisa dijamin banjir dapat diminimalisir,” kata Sain. Namun, sumber daya ini kadang pengelolaannya terabaikan. Apalagi ini milik publik. “Kepedulianlah yang dibutuhkan situ ini,” sambung Sain yang sejak kecil tinggal di sekitar Situ Pedongkelan. Sain bercerita, dahulu situ ini sangat bersih. Ia sering minum air Situ Pedongkelan. “Saya sering mandi di situ tuh,” kenang Sain, sambil menunjuk sebuah titik di pinggir situ. 

Bukan hanya Sain yang sempat menikmati kejayaan situ ini. Masyarakat di sekitar situ pun menimba banyak manfaat. Sumur mereka tak pernah kering saat musim kemarau. Jika butuh ikan, mereka tinggal duduk dan memancing di pinggir situ. “Dulu ikan-ikanya terlihat sampai ke dasar situ,” ungkap Susi, yang berjualan sayur di sekitar situ.

Sekitar penghujung tahun 1990-an, Situ Pedongkelan mulai ternodai kecantikannya. Situ ini berwajah hijau. Penuh sesak dengan eceng gondok. Sampah dan kerambah berkompetisi. Belum lagi air situ yang mulai keruh dan diikuti bau tak sedap. “Miris sekali keadaan situ ini saat itu,” ungkap Sain. 

Di sebelah selatan situ mulai terjadi pendangkalan. Sain mencemaskan hal ini. Alasannya, masyarakat kita akan memanfaatkan keadaan ini untuk mengusahakan sesuatu untuk menyambung hidup. Kalau sudah begini, bisa dijamin pencemaran dan kerusakan pasti terjadi. 

Beberapa sumur masyarakat mulai berbau. Belum lagi populasi nyamuk semakin bertambah. Saat senja menepi, saat itulah gerombolan nyamuk mulai beraksi. “Ini gara-gara eceng yang banyak tumbuh di situ,” ujar Sain.

***

Berawal dari sebuah obrolan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jaringan Kerja, tercetuslah ide mengembalikan lagi ekosistem Situ Pedongkelan. “Saya merasa terpanggil sejak itu,” kata Sain. Banyak hal-hal sederhana yang bisa disumbangkan untuk konservasi situ ini. Maka, tak lama sejak itu, sedikit demi sedikit, Sain mulai menggalang suara dan materi. Khalayak utama yang disasar oleh Sain tentu dukungan masyarakat kampung di sekitar situ. Tak lupa mencari dukungan dari instansi pemerintah yang terkait.

Sain tak menyangka dukungan yang mengalir begitu banyak. “Mungkin ini yang orang bilang, ada niat pasti ada jalan,” ungkapnya sambil menyapu wajahnya yang terbakar sinar matahari. Untuk memulai gerakan ini, Sain dan masyarakat di sekitar situ membentuk Kelompok Kerja Peduli Situ Pedongkelan. Pokja ini merancang sebuah rangkaian kegiatan yang mereka namai Bulan Peduli Kebersihan Situ Pedongkelan. Kegiatan ini berlangsung selama sebulan penuh, pada April 2007. 

Sain bisa sedikit tersenyum. Dua hektare permukaan situ yang ditumbuhi eceng berhasil dibuka. Alat-alat berat bekerja mengeruk lumpur. Masyarakat bahu-membahu membersihkan sampah secara rutin. Sedikit demi sedikit bopeng-bopeng di muka Situ Pedongkelan menghilang. Dua bulan kemudian pengerukan danau dikerjakan kembali. Alhasil, sekitar 6 ha luas situ yang ada mulai dapat dinikmati keindahannya.

Pada Desember 2008, dengan berbekal muka tebal dan koneksi selama bekerja di perusahaan Jepang dulu, Sain memperoleh dana dan bantuan materiil untuk membongkar pembuangan sampah di salah satu sudut situ. Usaha ini pun sempat menuai cibiran dari masyarakat. “Mana mungkin bisa,” Sain menirukan cibiran itu. Tapi keyakinan Sain jauh lebih besar. Lelaki tua ini sudah kebal dengan ‘duri-duri’ itu. Semua tetap dikerjakannya sesuai rencana yang disusun.

Di akhir tahun 2008, sebuah dermaga dibangun di bekas pembuangan sampah. Dermaga ini bahkan dilengkapi sebuah lapangan futsal sederhana. “Yang perlu dibangun itu keterlibatan masyarakat,” kata Sain. Maka, pada bulan yang sama pula wisata air di Situ Pedongkelan ini resmi dibuka. Ada sekitar delapan sepeda yang disediakan Pokja untuk menikmati keindahan Situ Pedongkelan. “Kalau masyarakat bisa menikmati, mereka pasti enggan mengotori situ.”

Wajah Situ Pedongkelan pada Desember 2009. Masih ada sederet pekerjaan rumah untuk membenahi situ ini agar lebih baik.
Namun, berbagai upaya dan kerja keras Sain serta Pokja tak selamanya ditanggapi positif. Sain pernah bersitegang dengan para pemilik kerambah di Situ Pedongkelan. Pemilik kerambah bersikeras karena mereka telah mengantongi izin dari Dinas Perikanan DKI Jakarta. “Tapi ini kan wilayah Depok, apa urusannya dengan DKI,” timpal Sain. Memang lokasi situ yang terletak di antara Depok dan Jakarta Timur menjadi persoalan yang dilematis. 

Sain tak gentar. Ia hanya berpegang pada keyakinan dan niat tulusnya. Setelah meminta tenggat waktu—menunggu ikan-ikan mereka siap panen—para pemilik kerambah satu demi satu membongkar ladang usahanya. “Di sini nih kerambah-kerambah itu berjejer,” kenang Sain di atas rakitnya. 

***

Kini, tahap demi tahap, situ Pedongkelan mulai bersolek, meski masih banyak yang harus dibenahi. Sain masih mengeluhkan pintu air di bagian hulu yang belum dilengkapi filter sampah. Akibatnya, saat musim hujan, Kali Jantung—yang bermuara di situ—membawa ‘bingkisan’ sampah yang beragam. Karena itu, menurut Sain, konservasi Situ Pedongkelan juga harus diikuti peran aktif pemerintah secara konsisten.

Kebanyakan proyek yang datang ke situ ini hanya sekadar ‘beli putus’. Usai satu proyek, lalu ditinggalkan. Pemerintah tidak membekali dana yang memadai kepada Pokja untuk pekerjaan perawatan kebersihan situ. “Kami hanya mengandalkan swadaya yang ada,” imbuh Sain, sambil menggeleng kepalanya.

Sain kerap ‘menjemput bola’ ke intansi-instansi pemerintah untuk meminta bantuan atau sekadar menagih janji terhadap perbaikan Situ Pedongkelan. “Saya harus ‘mengemis’, kalau tidak mau gimana lagi.” Kendala dana operasional yang berkesinambungan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Sain dan Pokja.

“Ini belum ada apa-apanya,” kata Sain sambil mengemudikan rakitnya, “saya masih punya mimpi yang besar untuk Situ Pedongkelan.” Sain adalah potret kecil sebuah kemauan yang keras: keinginan untuk menyeimbangkan hidup dengan alam. Ia masih ingin terus menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Bukan dengan sekadar omongan, tetapi dengan aksi.

(Depok, 9 Desember 2009)

Selamat Jalan

Tiga hari lalu. Ia di sana. Seperti biasa, hanya dahi dan rambut putihnya yang tersapu mataku. Ia sedang menunduk. Larut dalam pekerjaannya. Dan hari itu, ruangan tersebut begitu lengang. Ia sendiri, karena yang lain masih menikmati cuti lebaran.

Sampai hari ini aku belum mengenalnya dengan baik. Bahkan mungkin hanya sekali aku sempat berbincang dengannya. Itu pun dalam kalimat yang sangat pendek. Selebihnya hanya senyum dan tegur sapa yang lumrah.

Di penghujung tahun lalu. Aku ingat, sosok itu diperkenalkan di suatu forum internal kantor. Sejak kata pertama yang ia ucapkan, aku tahu ia bukanlah orang biasa. Ada tone yang khas pada setiap tuturnya—dalam dan jernih. Pilihan katanya pun—bagi saya—sangat bersahaja. Belum lagi kelakar yang ia selipkan dalam ceritanya. Sungguh pribadi yang hangat.

Waktu bergulir, seiring itu juga aku tahu ia termasuk dalam barisan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk buku. Beberapa artikel terjemahan dan review yang ia unggah di nawala internal kantor sudah cukup mengisyaratkan bahwa ia memang dedengkot dunia ini—dunia penerbitan buku.

Suatu hari, aku membaca namanya dalam sebuah pengantar buku teknik menulis. Si penulis buku berterima kasih kepadanya. Penuh makna. Ia menjadi guru sekaligus teman bagi si penulis itu.

***

Tiga hari lalu itu, mungkin yang paling membekas di ingatanku. Meski kami tak saling bicara, bahkan tak berkontak mata. Dan hari ini, tadi pagi, ia sudah pergi. Kembali dalam pelukan penciptanya.

Selamat jalam Pak Mula Harahap. Aku yakin—meski aku belum mengenalmu dan karyamu—di luar sana banyak orang yang memetik ilmu dan nilai hidup dari pribadi, pengabdian, dan karyamu.


-16 September 2010-

Monday, August 9, 2010

Juni


Desismu menyusup di lembar-lembar dedalu yang meranggas.
Singgah di lorong, di antara jejeran bangku-bangku kosong.

Juni.
Tawa-tawa itu masih hangat.
Lekat di telinga
Pada setiap Sabtu yang riuh dengan gairah

Juni.
Padamu bergelanyut emosi-emosi.
Di dedaunan yang jatuh merindu bumi, luapan emosi terdekap diam. Dari denting bulir hujan yang menapaki debu, bergaung sesak suka dan duka.

Padamu pun Juni, 'sebagian' terbang, mengekori gemuruh cita.

Friday, July 23, 2010

Tulisan berikut ini diambil dari kolom di Majalah Tempo, tanggal 19 Juli 2010 (versi online), ditulis oleh Wilson Sitorus yang bekerja di O Channel. Ada dua pertanyaan besar yang dijawab di kolom ini terkait infotainmen yang sudah membabibuta di negeri ini.


Infotainmen Bukan Produk Jurnalistik

ADAKAH kabar baik jika kabar itu datang dari infotainmen? Ini pertanyaan serius kedua.

Pertanyaan serius pertama adalah apakah infotainmen merupakan karya jurnalistik atau bukan. Jika merupakan karya jurnalistik media elektronik, kontennya harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika tidak, ia harus tunduk pada keharusan sensor. Kedudukannya setali tiga uang dengan sinetron, acara mencari jodoh atau mencari bakat, dan program nonfaktual lainnya.

Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, yang merupakan perdebatan lama tapi kembali aktual pascasensasi video porno tiga serangkai itu, mari kita periksa rekam jejak program infotainmen. Saya nukilkan beberapa peristiwa besar saja.

Nukilan pertama adalah kisruh rumah tangga Rafli-Tamara Bleszynski. Seorang tukang bakso yang biasa mangkal di depan rumah mereka dijadikan narasumber dan dimintai konfirmasi apakah betul Tamara jarang pulang ke rumah. Tanpa bermaksud meremehkan profesi, tukang bakso pastilah tidak sesuai dengan Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik tentang kredibilitas dan kompetensi sumber berita. Infotainmen juga menabrak Pasal 18 P3 & SPS KPI yang menyatakan anak dan remaja-anak pasangan Rafli dan Tamara-tidak boleh diwawancarai mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka, termasuk tentang perceraian orang tua.

Nukilan berikutnya adalah pertengkaran Kiki Fatmala dengan ibunya. Dalam Bab II Pasal 6 KEJ disebutkan soal perlindungan atas kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum. Pada tayangan yang sama, infotainmen juga melanggar Pasal 19 P3 & SPS KPI tentang privasi, serta Pasal 20 tentang konflik dalam keluarga.

Selanjutnya adalah kasus penganiayaan yang ditimpakan kepada Marcella Zalianty dan kekasihnya, Ananda Mikola. Infotainmen tidak tunduk pada Pasal 7 Bab II KEJ tentang menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang. Selama 14 hari menjadi berita, Marcella pasti tak merasakan penyajian berimbang. Tayangan tersebut juga tidak tunduk pada Pasal 9 P3 & SPS KPI yang mengharuskan prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas).

Yang teranyar adalah kasus video porno Ariel-Cut Tari. Infotainmen menayangkan adegan mesum itu dengan teknik masking (menutup gambar pada bagian vital) saja, tapi membiarkan audio apa adanya. Akibatnya kita masih mendengar suara mendesah dan sapaan manja. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan KEJ Pasal 3 Bab 1, yaitu pantang menyiarkan berita cabul. Juga tak sesuai dengan Pasal 42 P3 & SPS KPI, yang melarang menyiarkan suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks.

Daftar nukilan ini sebenarnya masih panjang. Namun intinya tetap satu: infotainmen terlalu sering tidak patuh pada KEJ ataupun P3 & SPS KPI. Cara kerja infotainmen adalah membungkus cantik sebuah fakta dengan gosip, melebih-lebihkan gosipnya dengan fakta yang sumir dan insinuatif, untuk mendapatkan perhatian pemirsa. Gosip, bukan fakta, adalah menu utama program ini. Dan ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat, tempat lahirnya tayangan ini.

Dengan demikian, bila masih ada yang berpendapat infotainmen adalah karya jurnalistik media elektronik sehingga tidak membutuhkan sensor, silakan memaknai pendapat tersebut sebagai bagian dari gosip itu sendiri. Sebab, daya hidup infotainmen terletak pada ketidakpatuhan terhadap peraturan-peraturan jurnalistik.

Konsekuensinya, rencana KPI melakukan sensor sebelum tayang terhadap program infotainmen bukan dimaksudkan untuk mengebiri konten program ini. Sensor perlu dilakukan agar infotainmen memahami sepenuhnya kekuatan besar sebagai pengerek rating atau share yang dimilikinya harus dibarengi dengan tanggung jawab yang sama besarnya. Infotainmen tidak boleh terus-menerus mempermainkan sentimen pemirsa. Terlebih lagi televisi sudah memasuki era sistem siaran berjaringan.

Sejatinya menjadi selebritas adalah profesi terhormat. Sepanjang mereka membayar pajak, negara harus memastikan tersedia cukup peraturan untuk melindungi wilayah privat mereka.

Sekarang, giliran saya yang memastikan Anda sudah tahu jawaban atas pertanyaan serius yang kedua.

Lihat pula di @wilsonsitorus. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Thursday, July 15, 2010

Entahlah

Kepada luka yang lama bersembunyi di kaki malam,lewat sedikit cahaya, ada resah yang ingin disampaikan pada pekatnya kabut. Kemarin, ketika matahari merendah, kicau burung mengisahkan gelisah yang akut. Mereka belum ingin beranjak sebelum mentari menarik diri dari serpihan hujan. Bulu-bulu mereka basah dan kepakannya begitu membumi hingga seperti tak pernah berlabuh setelah sekian abad.

Seekor bertanya kepada temannya, "Mungkinkah sang siang rela meninggalkan hari dalam kekalutan ini?" "Jauh di sana ada yang menahan tanyanya di dasar nafsunya, karena mereka menyaksikan raja siang menanggalkan keangkuhannya petang ini," seekor lainnya menjawab. "Lalu, dia belum menunjukkan sedikit tanda-tanda," desah seekor yang memulai labirin pertanyaan ini. "Tak kau rasa kah, angin mulai gelisah dalam beku. Mulai menggeliatkan instingnya mencari arah berlari. Dengan situasi ini, tampaknya kita harus berdamai dengan waktu. Menyempatkan, setidaknya, sedikit ruang kesabaran untuk mendengar desau hujan yang sedang melagu."

Selalu ada

Hari semakin tua di pelupukmu
juga mahkotamu yang mulai memutih
Pahatan waktu hinggap di kulitmu
menuturkan sangkala yang telah kau tundukkan

Ada rindu yang kau simpan,
kepada laki-lakimu yang dulu selalu di sampingmu
meneguhkan langkahmu di siang bolong tanpa nama
mengayuh sampanmu di telaga malam berjenama hidup
lalu, sebuah tangisan yang sering kau sembunyikan di balik senyummu

Sering ku terbangun dalam takut
Menjumpaimu di mimpi tak bertuan
Entahlah,
menyusul air mata menenangkan ku dalam gelap

Tatapanmu masih terngiang
Matamu yang berkaca dan lembutnya pelukanmu melepasku
Aku menitipkan sebulir air mata di pundak bajumu
sebab ku harus tersenyum di depanmu

Ibu, selalu ada rindu untukmu…