Tuesday, October 12, 2010

Mengantarmu

Hujan masih setia. Rintiknya berkejaran dalam nada yang statis. Sesekali angin beringsut, meracau melodi bulir hujan yang terpental dari cekungan becek. Sudah hampir seminggu, setiap sore langit menangis dan terisak lebih lama. Entah apakah ini tanda perpisahan dengan musim kemarau yang kini tak jelas lagi reinkarnasinya.

Kadang aku hanya kasihan pada bibit tomat—yang mungkin—sudah jenuh air di potnya. Juga kepada tukang jual karpet di pinggir jalan yang harus berkemas lebih awal karena langit mulai gelap. Kadang aku mengira, ia memikul karpet itu dengan sedikit gerutu, belum juga ada yang—sekadar—menyambangi dagangannya, eh sudah harus gulung tikar.

Sama seperti si penjual karpet, aku masih mendongkol di sini. Di bawah atap sebuah rumah besar. Ya, ini rumah yang disulap menjadi kantor, dan tersembunyi dari belantara kemacetan Jakarta. Jarum hitam di jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Artinya hampir setengah jam aku menunggu di depan pintu itu, dan sudah setengah jam pula aku terlambat.

“Mau ke mana?” seorang kawan bertanya. “Ada janji dengan kawan,” jawabku sekenanya. Mataku masih mengawasi rintik hujan, menimbang-nimbang apakah aku dapat menerobosnya dengan pantas. Belum. Masih deras. Saraf-sarafku belum siap.

***

“Woi,” refleks tanganku terangkat, “di sebelah sini.” Seketika itu juga tiga kepala berpaling ke arahku. Semua tersenyum. Begitu hangat. “Maaf lahir batin, ya,” seorang membuka perjumpaan itu, dan aku spontan menjabat tangannya dan kedua kawan lainnya sambil mengulang kalimat yang sama—tulus dari hati.

“Emangnya gak pulang kampung?” tanya seorang kawan. Aku hanya tersenyum diikuti gelengan kepala yang terasa ter-setting otomatis. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang kerap semakin tinggi frekuensinya menjelang liburan Idul Fitri, dan sedikit menurun frekuensinya—tetapi pasti tetap akan menjadi pembuka pembicaraan—pascalebaran.

Sebenarnya pertanyaan itu sudah aku jawab dua tahun silam. Pada tahun aku bisa menikmati lebaran di tengah keluarga yang lama kutinggalkan. Sampai pada momen itu, gelar Bang Toyib sementara tanggal dari pundakku. Memang sangat beralasan kawan-kawan di Bogor menganugerahkan gelar itu, bahkan aku sudah melampau rekor Bang Toyib—bukan cuma tiga kali lebaran, tapi enam kali lebaran tak pulang-pulang.

“Dari jam dua lewat di sini,” seorang kawan sedikit sarkas. “Maaf, maaf, hujannya gak kompromi. Padahal nih dah bela-belain bolos,” jawabku, karena aku tahu aku memang telat parah. “Terus, kita mau naik kereta apa?” tanya kawanku, Tiwi, yang belakangan aku sadar dia tak pernah absen dari semua acara kumpul-kumpul kelas kami.

Belum sedetik pertanyaan Tiwi menguap di udara sore yang dingin itu, tiga pertanyaan—dari seorang kawan lainnya—bertubi-tubi menghujam penjaga loket kereta api. Begitu cepat. Sedikit dramatik. Tawaku hampir pecah.

Bagaimana tidak, pertanyaan itu diiringi gestur khas orang Hindustan. Di bagian ini, aku agak sulit untuk mendeskripsikannya. Aku hanya ingin menegaskan, mungkin ini sudah mendarah daging di diri Sarah—kawanku itu, karena memang dia begitu tergila-gila dengan India. Untung si penjaga loket tiket sudah terlatih dan lebih memilih merespon pertanyaan terakhir, “Ekonomi-AC jam setengah empat.”

“Ya, kita naik itu saja,” kata Sarah merespon balik. Tanpa dikomando masing-masing merogoh dompet, mengeluarkan uang sebesar Rp5.500 sebagai tiket perjalanan menempuh enam stasiun kereta menuju Bogor. “Oh iya, si Lily di mana?” tanyaku. “Dia lagi menuju ke sini,” jawab Sarah sambil mengeluarkan ongkos tiket kereta untuk Lily.

Tak lama setelah mengantongi lima tiket, sesosok perempuan berperawakan sedang, berjilbab hitam, dan berbusana oranye berlari kecil menuju arah kami. “Itu Lily,” kata salah satu kawanku. Lily, itu nama panggilannya. Kadang kami memanggilnya Lailai. Di dunia baru bernama UI, Lily dan aku adalah kawan lama yang hijrah ke Depok, dan melanjutkan kuliah di kampus dan (lagi-lagi) di kelas yang sama.

Dia contoh anak perantau yang pantang menyerah. Dia cerdas dan tangkas berargumen. Soal menulis, dia jagonya. Maklum dia pernah melakoni profesi sebagai wartawan selepas berkuliah di Bogor. Namun, akhir-akhir ini seperti ada dinding tak kasat mata antara kita, dan aku belum berani menyatakan ini padanya.

Tiga hari selepas lebaran, stasiun kereta UI masih lengang. Padahal, pada jam-jam seperti itu, peron ini—sudah dipastikan—ramai, bahkan sedikit sesak. Tapi suara kami berlima sudah cukup untuk memecah kesenyapan itu. Seperti biasa, kami kembali larut dalam cerita-cerita konyol. Dari kehidupan di dunia nyata hingga soal kegilaan di dunia maya.

Masih di peron. Sekonyong-konyong kami begitu sigap. Icha, kawan yang belum aku sebutkan namanya, tiba-tiba mengeluarkan mainan barunya: kamera DSLR. Pada detik itu, aku rasa Sarah sudah dengan gaya manisnya. Tiwi pun dengan senyumnya yang pol. Tak perlu ditanya lagi, Lily pasti sudah dengan pose maksimal. Sedangkan aku, kadang-kadang masih gamang dengan cara menampilkan diri di depan kamera. Ah, berle(bihan) a.k.a lebay. Sarah pasti berkomentar tajam kalau baca bagian ini.

“Waktu itu di kelas apa gitu,” Lily mencoba mengingat. “Bambang…Bambang Sotoy,” kata Tiwi menirukan celetukan spontan salah satu teman kelas yang menganugerahkan nama tersebut kepada seorang kawan yang—entah ia ada atau tidak, di dunia nyata ataupun maya—selalu jadi bahan celaan. Tawa pun pecah.

“Katanya si Bambang lebaran ini gak mudik. Tapi bakal pulang mau nyekar ke kampung halaman,” aku angkat cerita, “itu sama saja mudik, kan?” Ha ha ha ha ha. Semua tertawa. Begitulah kegilaan Bambang yang sama-sama kami mengerti. “Dasar, Bamsot,” celetuk salah satu kawan. Aku takjub. Betapa si Bambang tak habis-habisnya mengocok perut kami.

***
Peron bisa saja sunyi, tapi tidak dengan gerbong kereta. Penumpang tetap saja sesak. Cuma kali ini masih manusiawi. Lebih menabjubkan lagi, di antara sesak itu, kami masih tenggelam dalam cerita-cerita yang mengundang tawa. Kali ini, Tiwi yang angkat cerita. Tidak jauh-jauh, masih seputar pekerjaan yang sudah hampir empat bulan ini dia jalani: class assistant, di sebuah sekolah internasional.

Di balik jilbabnya, aku masih merasakan sisi tomboy Tiwi. Ditambah dia jago bela diri. Celakanya, penggila drama dan aktor korea ini diberi tanggung jawab mengurus elementary class, tepatnya kelas satu. Bencana!

Beberapa kali aku mendengar cerita tentang siswa-siswanya yang unik bin ajaib itu—atau mungkin si Tiwi yang rada ajaib. Tapi kali ini dia cerita tentang beberapa guru yang dari kaca matanya juga ajaib. Kami kadang tertawa mendengarnya, tapi lebih sering berekspresi ngeri.

Samar-samar bayangan berkelebat di jendela kereta yang berkabut. Di luar hujan semakin lebat. Angin pun tak mau kalah. Derai hujan tak lagi turun vertikal. Angin meniupnya, lebih dingin. Merasuk ke sendi-sendi kengerian kita. Tapi bagiku, hujan ini menggores sore itu.

***

“Si Lailai mana?” aku bertanya. Mereka pun balik bertanya. Kami kehilangan Lily di keriuhan Stasiun Bogor. Bukan cuma riuh, tapi benar-benar berantakan. Tak ada alur yang jelas antara penumpang yang mau turun dan naik. Belum lagi rintik hujan masih betah bertumpahan. “Kita jalan saja. Nanti juga ketemu. Ini kan daerah jajahan Lailai,” ujarku pada yang lain sambil sesekali menyapu gelombang manusia, mencoba menangkap bayangan perempuan berbaju oranye dan berjilbab hitam.

Dua warna itu yang tadinya mengecoh kami berempat. Masing-masing kami mengira, perempuan—berjilbab hitam dengan busana oranye—yang berada sekitar tiga meter di depan kami itu si Lily. Setelah lebih dekat, kami pun salah besar.

Kami pun kembali dalam formasi lengkap. Berusaha keluar dari luapan manusia di stasiun yang semakin jarang aku sambangi. Tak banyak yang berubah. Paling mencolok hanya penambahan peron kereta. Selebihnya masih sama. Apalagi soal ketertiban. Mungkin makin kacau.

Di dalam angkot, kami masih ramai. Masih ada segudang obrolan yang ngelantur sana sini. Masih seputar Bambang, kadang-kadang menyerempet tentang kisah asmara ‘haji’ dan ‘hajjah’. Eh, sejurus kemudian suara si hajjah bergaung di telepon genggap milik Tiwi. Spontan aku berteriak, “Kami lagi ngomongin lu bu hajjah.” Selang berganti, si Bambang menyambangi HP Tiwi. Kontan Sarah berkomentar, “Ngapain si Bamsot telepon lu, Tiwi?!” Aku diam-diam tertawa. Jangan-jangan si Sarah mengharapkan telepon dari si Bambang Sotoy. Hmmm, hanya Tuhan yang tahu.

***

 Di sudut jalan, di bawah tenda penjual ayam goreng, kami berteduh. Sesekali, mata kami tertuju ke ayam goreng yang terdisplai. “Tampaknya enak,” seorang kawan berseloroh. Kami pun mengiyakan. Tak lama kemudian sebuah mobil hitam mendekat. Perlahan kacanya terbuka. “Oh, Mbak Liebe nyetir sendiri?” tanya Sarah. Tak lama mobil itu pun melaju menuju rumah si pengendara.

Rumah itu tetap hijau, sama seperti aku datang setahun yang lalu, bahkan lebih semarak. Tapi saat menginjak ruang tamunya, pemandangannya tidak seperti dulu. Tak ada lagi kursi ataupun meja. Hanya onggokan barang yang dikemas dalam kardus dan tas perjalanan. Namun, karikatur si empunya rumah bersama putri tersayang mereka masih menggantung di salah satu dinding ruang tamu. Gambar berpigura hitam itu masih selalu mengundang tawa.

Di ruang tengah seorang gadis kecil menyambut kami sambil tersipu malu. Sebentar menghampirinya, tanpa dikomando, kami langsung menuju kamar mandi bergantian. Masing-masing sadar dengan kondisi kaki yang becek. Di dapur tampak bibi—yang masakannya selalu dibanggakan empunya rumah—sedang sibuk beres-beres. “Apa kabar, Bi?” tanyaku sambil minta gelas untuk minum.

Si gadis kecil masih bermain di atas kasur di ruang tengah bersama ponakan ibunya. “Apa kabar Teta?” Sarah menyapanya. “Ini budak leutik apa kabarnya?” Lily ikut bertanya sambil menggodanya. Sambil tersenyum dia bergerak lincah menghindari teman-teman ibunya. “Maklum ya kalau berantakan, namanya juga mau pindahan,” kata Mbak Liebe.

Sore itu memang masih berlangsung kegiatan transfer barang dan pengosongan rumah.  
 “Iya, akhirnya dengan berat aku lepaskan juga,” kata Mbak Liebe, menjawab pertanyaan Lily tentang piano yang tak lagi ada di salah satu sudut ruang tengah. Televisi pun tak lagi ada di tempatnya. Bahkan kami sengaja mengajak Teta sibuk bermain agar ia tak menyadari bahwa saudara ibunya sedang mengangkut beberapa barang kesayangannya.

Hingga ketika bibi melewati ruang tengah sambil membawa sebuah keranjang bermain—yang lebih mirip tenda mini—tiba-tiba gadis cantik itu keluar dari kamar sambil berseru, “Tunggu, itu tenda aku!” Bibi hanya bisa mundur sambil memberikan keranjang tersebut. Mbak Liebe hanya bisa menggeleng kepala.

***
 
Setengah tujuh malam aku sampai di kelas. Hanya beberapa orang tampak di sana. Hari ini—seingatku—hari ketiga perkuliahan dimulai. Semua masih tampak asing: wajah-wajah temanku, ruang kelas, hingga celetukan-celetukan yang terdengar. Aku langsung duduk di kursi di deretan kedua dari depan. Tepat di depan seorang perempuan—yang setahuku saat itu—mungkin tak seumuran lagi dengan peserta kelas itu.

Entah dimulai dari topik apa, akhirnya aku terlibat perbincangan dengan kelompok kecil di belakangku yang datang sedari tadi, termasuk dengan perempuan itu. Kami saling memperkenalkan diri. Aku cukup terkesima setelah tahu kalau perempuan itu rumahnya di Bogor. Jauh juga untuk ukuran perjalanan sore dan malam. Dia naik kereta untuk sampai ke kampus. Dari cara dia berbicara, aku tahu dia orang yang cerdas, berprinsip, dan rendah hati.

Belakangan aku tahu ia berasal dari NTT. Namun, pernah menghabiskan masa kecilnya di Swiss. Tak heran dia menguasai beberapa bahasa asing. “Liee..be atau Liebe?” tanya seorang dosen saat memanggil nama perempuan itu. Memang namanya sedikit asing di lidah orang Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Selain itu, sedikit menyita perhatian, tenyata namanya tengahnya dihiasi beberapa hurup kapital sebagai singkatan nama tengahnya yang panjang. Namun, aku cukup memanggilnya Mbak Liebe.

Dia kawan yang baik. Dia contoh dan ‘cambuk’ bagiku. Mungkin dia tak pernah tahu kalau saat-saat semangatku kuliahku sedang surut, aku bercermin padanya. “Masa kalah sama ibu-ibu?!” Pernah suatu Sabtu aku menemaninya menunggu kereta di Stasiun UI. Kala itu tugas kuliah sedang banyak-banyaknya. Kami tahu, ihwal itu cukup membuat kami bisa ‘meledak’.

Lantas dia berbicara tentang filosofi kurma. Filosofi yang dia pegang selama ini, karena aku tahu ada saja kerikil yang dia hadapi selama menyelesaikan kuliah di UI. Begitu pun aku. “Walau hidup di tengah gurun yang kering, kurma tetap punya rasa yang manis,” tuturnya. Pasti ada buah manis yang kita petik dari sebuah kerja keras. Sejak itu pun, saat situasi sulit dalam kuliah, kami saling mengingatkan dengan filosofi kurma.

Bahkan, pada semester-semester berikutnya, aku sering satu kelompok dengannya. Mungkin karena kecocokan pola kerja, dan memang se-visi dalam mengerjakan tugas kuliah. Hingga seorang dosen berseloroh, “Di mana ada Liebe, pasti ada Topan. Di mana ada Topan, pasti ada Liebe.” Aku hanya bisa tertawa.

Masih teringat malam-malam saat kami bertelepon berbagi kabar tentang sejauh mana perkembangan pengerjaan skripsi masing-masing. Apalagi kami memiliki pembimbing akademis dan pembimbing skripsi yang sama. Kadang ada kepasrahan dalam pembicaraan kami. Namun ada mimpi-mimpi yang ingin kami capai. Hingga pada suatu malam, saat berbincang di telepon, aku menyatakan kemungkinan aku tak bisa merampungkan skripsi semester tersebut.

Aku mendengar ada nada yang berubah pada suaranya di seberang sana. Aku tahu, agak berat menyatakan ini—atau juga mendengarnya, mengingat kami sama-sama melangkah membangun skripsi ini dengan kesungguhan, sama-sama melewati sidang proposal di waktu dan ruangan yang sama, tetapi harus berakhir dengan jalan masing-masing.

Beberapa hari kemudian aku baru tahu kalau saat itu dia sedih—mungkin hampir menangis. Aku pun bercerita padanya, kalau aku kemarin malam bermimpi ketika aku menyampaikan kabar sedih itu, dia langsung memalingkan wajahnya, dan aku tahu, air mata mengalir di pipinya saat itu. Sedih...

**

Hari ini di antara gerimis yang tak berhenti, kami berlima sengaja datang menemuinya. Empat hari lagi Mbak Liebe akan berangkat bersama suami dan putri mereka yang cantik dan tinggal di negerinya Shahrukh Khan—entah untuk berapa lama.

Di depan Stasiun Bogor, kami mengakhiri kebersamaan yang begitu ‘hangat’. Kami memeluknya satu persatu. Begitu erat. Begitu cepat, sebelum angkot—di belakang mobilnya yang sedang berhenti di padatnya jalanan di depan stasiun—membunyikan klaksonnya.


Tererert...handphone-ku berbunyi. Sebuah replayed SMS dari Mbak Liebe masuk,“... Aku paling sebel perpisahan, makanya ga mau lama2, takut sedih ....” 



(Suatu sore di hari ketiga belas di bulan September yang tidak ceria.)

5 comments:

  1. Betapa mahal harga sebuah persahabatan ya, Pan. Kalian semua ngga akan pernah bisa tergantikan. Dengan apapun. Kalian lah simbolisasi filosofi buah kurma itu. Tuhan baik sekali menghadiahkan kalian dalam hidupku.

    Peluk-Cium
    Andyna

    ReplyDelete
  2. Ya, Tuhan begitu baik memberi kesempatan mengenal kalian dan menjadi bagian dari kalian. Sungguh anugerah yang indah. I miss you guys.

    ReplyDelete
  3. Maaf saya belum sempat membaca artikel Anda semuanya. Sedikit saya memberi saran untuk Anda, menurut saya artikel Anda terlalu panjang sehingga bagi orang seperti saya agak malas membacanya. Lol

    Maaf kalau saran saya tidak berkenan di hati Anda. Menurut saya penulisan artikel sebaiknya minimal 300 kata maksimal 700 kata. Waduh maaf nih komentarnya agak kasar. Terima kasih

    Kalau Anda mau bertukar informasi dan ingin memberikan komentar, silahkan kunjungi blog saya di http://de-future.com/

    ReplyDelete
  4. Hi, Ade Kurnia.
    Terima kasih sudah menyambangi blog saya. Terima kasih juga untuk sarannya. Tulisan yang Anda komentari ini memang bukan artikel, tapi lebih ke cerita. Saya rasa tak perlu ada batasan jumlah kata yang harus saya pakai, apalagi hanya dalam hitungan ratusan. Khusus artikel ini saya memang sengaja menulis panjang, karena saya tidak ingin memagari tulisan di blog ini hanya pada genre tulisan tertentu, apalagi mengarahkannya ke hardnews atau softnews. Terima kasih.

    ReplyDelete